Arti Seekor Kepik
Pernahkah kau bertanya, mengapa Tuhan memilih kau sebagai dirimu?
Mengapa Tuhan memilih menciptakan aku sebagai kepik ketimbang manusia?,yang menurut kebanyakan, manusia adalah mahluk yang paling mulia dibanding aku seekor kepik?.
Sempat aku marah padaNya, ketika tahu aku tercipta hanya sebagai hiasan taman bunga yang tak pernah di pandang dan tak pernah bernilai. Ketika lahir tak berharga, hidup tiada guna, dan mati teracuh terabaikan. Hingga suatu malam seekor cacing tanah hitam gemuk dan jelek menyapaku dalam perjalanannya yang tak tentu arah itu.
“apa kau sakit kepik?” tanya si cacing tergopoh – gopoh kelelahan.
“betul, hatiku sedang sakit” jawabku ketus.
“apa yang membuatmu sakit” tanyanya memburu jawabanku.
“aku dibuat sakit oleh ulah Tuhan kita”
“seharusnya kau tidak berkata seperti itu pada Tuhan kita yang telah berbaik hati memberikan penghidupan kepada kita” jelasnya singkat.
“penghidupan yang sebenarnya tidak aku inginkan?” marahku.
“mengapa kau membenci hidupmu?”
“karena aku tahu aku tak layak hidup, sama halnya dengan semua keluargaku dan teman – temanku. Mereka semua hanya membuang – buangkan waktunya untuk hidup, karena mereka semua tidak berguna seperti halnya aku. Mereka hidup hanya untuk mati, karena cepat atau lambat mereka akan menemui kematiannya dengan cara mereka yang tragis mulai dari terinjak manusia, dibunuh manusia, dibunuh binatang lain maupun mati karena usia senja. Bukankah kau juga melihatku seperti itu cacing?”
“kehidupan ataupun kematian memiliki misterinya sendiri, aku hanya seekor cacing gemuk dan jelek, dan aku tidak mengerti tentang semua filosofi kehidupan, yang aku tahu adalah Tuhan tidak akan menciptakan segala sesuatunya dengan sia – sia, seperti halnya dirimu, jadi tidak sepantasnya kau marah dengan Tuhan” jelasnya agak sedikit panjang.
“aku tahu hidupmu lebih berguna dibanding aku cacing, sebab itulah kau berkata sok tahu dan hendak menggurui aku kan ?”
“mengapa kau menyangka aku demikian?”
“karena kau lebih berguna kan ?”
“benarkah?”
“tentu saja, kau yang membuat tanah – tanah tempat tinggal adam subur, kau juga menyuburkan pepohonan dan tanaman sumber penghidupan adam. Mungkin jika kau mati nanti, kaulah mahluk yang dalam daftar ciptaanNya yang amat disanyangiNya. Tidak heran aku banyak menemui cacing senja lain sepertimu ketika mereka menghadapi mautnya mereka tidak dalam kecemasan dan ketakutan tetapi dalam kedamaian. Aku memujimu dalam kebenaran dan janganlah kau angkuh karenanya. Dan hal tersebut jauh berbeda dengan nasib ku yang tua ini” jelasku menbabi buta.
Sejenak cacing hanya tersenyum simpul.
“apa yang membuatmu tersenyum cacing?, apa kau sedang mengejekku?” tanyaku lagi.
“seperti yang aku jelaskan tadi, aku bukanlah ahli filosofi, dan aku bukanlah yang termasuk yang pandai. Aku hanya tahu satu hal dan itu yang aku pegang teguh sebagai pedomanku yang membuatku tetap bertahan hidup” jelas cacing jelek itu.
Penjelasannya yang singkat membuatku ingin bertanya lebih lanjut lagi padanya.
“usiaku telah tua dan aku telah siap menghadapi mati, sebab sayapku tak dapat lagi terbang jauh dan kakikupun telah patah terinjak manusia. Jadi, jelaskanlah pedomanmu itu agar aku tidak dalam kebingungan?”.
“sama halnya denganmu, akupun telah tua dan siap menghadapi mati. Hanya saja aku berbeda denganmu. Aku tetap berusaha menghadapi hidup meski aku akan mati besok, aku tetap berusaha memaknai hidup dengan caraku meski menurut jenisku itu sia – sia, sepengetahuanku tidak ada yang hina didunia ini karena Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu yang hina, dan tidak ada yang sia – sia didunia ini karena Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu hal yang sia – sia, seperti halnya kamu, tidakkah kamu sadar kamu tercipta dengan tugas yang sedikit. Didunia ini, kamu hanya bertugas sebagai bahan makanan bagi hewan lain, agar ekosistem tidak terputus hingga pada ekosistem yang tertinggi, supaya mereka dapat melanjutkan hidup dan menyelesaikan tugasnya masing - masing, hingga akhirnya akan diperoleh kemanfaatan dari ekosistem yang tertinggi tersebut oleh manusia, dan tidakkah kau sadar rupamu begitu cantik dipenuhi bintik merah, sedangkan aku telah banyak mendapat perlakukan manusia yang tak baik karena mereka melihat rupaku menjijikkan bahkan tak banyak mereka menilai bahwa aku pemakan bangkai jenazah yang telah tertimbun ditanah, mengingat aku hidup didalam sana. Tapi aku menikmati semuanya karena aku hidup ditempat terakhir tujuan manusia terlahir”. Jelas cacing itu setengah terengah – engah karena tua.
“tapi aku bukan salah satu penyambung ekosistem, karena aku tiada guna hingga detik terakhirku saat ini” ratapku.
“bukankah ada cara mulia lain agar kau terlihat indah dimata Tuhan?, sepanjang hidupmu kau bisa bertasbih kepada Tuhan wujud cinta dan syukurmu kepadaNya, bukankah itu lebih nyaman dan tanpa beban?, buatlah bunga – bunga tersebut lebih cantik karena hadirmu” jelas cacing jelek tertatih, yang menurutku karena penjelasannya ternyata ia sama sekali tidak jelek.
Penjelasannya membukakan penilaianku mengenai segala hal yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Aku salah terka, aku kira hal itu buruk tapi ternyata indah, aku kira hidup itu tak berisi ternyata ada sejuta isi didalamnya tanpa semua mahluk Tuhan dapat menjabarkannya. Nafas legaku mengakhiri percakapan kami karena kami terserang kantuk yang teramat sangat dalam waktu bersamaan, kami sama – sama terlelap. Hingga fajar menyongsong malu, segaris rona cahaya orange hadir dilangit. Menyambut kami yang sama – sama telah mati, tapi yang lebih penting aku mengerti tanpa sengaja makna hidup dari yang hanya bisa mencerca, pencerahan yang tidak pernah aku duga datangnya walau itu dari mahluk yang tak terhiraukan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar